ASN Dilingkungan KESDM Pelajari Grid Impact Study untuk Integrasi Energi Terbarukan

ASN Dilingkungan KESDM Pelajari Grid Impact Study untuk Integrasi Energi Terbarukan

ASN Dilingkungan KESDM Pelajari Grid Impact Study untuk Integrasi Energi Terbarukan

 

Pusat Pengembangan Sumber Daya Manusia Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (PPSDM KEBTKE) mengadakan Pelatihan Teknis Analisis Dampak Sistem (Grid Impact Study) dengan Integrasi Energi Baru Terbarukan (EBT) Intermiten pada 4 hingga 6 Agustus 2024. Pelatihan ini berlangsung di Kampus PPSDM KEBTKE, Jalan Poncol Raya No.39, Ciracas, Jakarta Timur.

 

Rifka Sofianita, Sub Koordinator Penyelenggaraan Pengembangan Sumber Daya Manusia, menyampaikan bahwa pelatihan ini diikuti oleh 13 peserta yang berasal dari Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi, serta Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Energi dan Sumber Daya Mineral PPSDM KEBTKE.

Materi yang disampaikan dalam pelatihan ini meliputi karakteristik pembangkit energi terbarukan variabel, studi kasus, pengenalan software DigSILENT, dan integrasi pembangkit energi terbarukan variabel (VRE) ke dalam sistem ketenagalistrikan. Dr. Chairul Hudaya dari Universitas Indonesia hadir sebagai narasumber.

 

Rifka menjelaskan bahwa pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kompetensi ASN, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, serta Peraturan Lembaga Administrasi Negara Nomor 10 Tahun 2018 mengenai pengembangan kompetensi pegawai sipil negara.

 

Urgensi Pemanfaatan Energi Terbarukan

Dr. Chairul Hudaya menggarisbawahi pentingnya pemanfaatan sinar matahari sebagai sumber energi. Setiap tahun, Bumi menerima 174 Petawatt (PW) energi dari radiasi matahari, di mana sekitar 30% dipantulkan kembali ke luar angkasa, sementara sisanya diserap oleh awan, samudra, dan daratan. Potensi energi baru terbarukan (EBT) mencapai 3.078 kali lipat dari kebutuhan energi dunia saat ini, dengan radiasi matahari sebagai kontributor terbesar yang mampu memenuhi 2.850 kali kebutuhan energi global.

Tantangan Penggunaan PLTS di Indonesia

Pemanfaatan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Indonesia menghadapi tantangan, baik dari segi teknis maupun ekonomis. Sebagai pembangkit energi terbarukan variabel (VRE), PLTS bersifat intermiten—energi yang dihasilkan tidak konstan sepanjang waktu. Selain itu, keterbatasan infrastruktur jaringan listrik di Indonesia juga mempersulit integrasi PLTS, yang memerlukan baterai sebagai sistem penyimpanan energi yang efisien. Dari segi ekonomi, investasi awal yang dibutuhkan cukup tinggi, dan Break Even Point (BEP) seringkali tidak tercapai sesuai dengan garansi dari manufaktur.

 

Sejarah dan Tantangan Integrasi PLTB

Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) pertama kali digunakan pada abad ke-7 di Sistan, Provinsi Timur Persia (sekarang Iran), melalui pemanfaatan kincir angin vertikal. Saat ini, PLTB dengan kincir angin tiga baling-baling menjadi jenis yang paling banyak digunakan di dunia.

Namun, tantangan dalam integrasi PLTB ke jaringan listrik cukup signifikan. Variasi kecepatan angin, terutama di daerah beriklim empat musim, menyulitkan penentuan biaya produksi listrik dan ketersediaan spinning reserves. Selain itu, turbin angin PLTB beroperasi seperti mesin induksi yang membutuhkan daya reaktif, sehingga kestabilan jaringan dapat terganggu jika terjadi gangguan.

 

Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut

Materi lain yang disampaikan adalah mengenai Pembangkit Listrik Tenaga Arus Laut (PLTAL), yang memanfaatkan energi pasang surut air laut akibat gravitasi antara Bumi, Bulan, dan Matahari. Meski belum banyak digunakan, PLTAL memiliki potensi besar untuk memenuhi kebutuhan listrik di masa depan.

PLTAL dengan energi kinetik bekerja mirip dengan kincir angin pada PLTB, namun memiliki kapasitas yang lebih kecil, yakni sekitar 1-2 MW, dibandingkan PLTB yang mencapai 8-12 MW. PLTAL dapat dipasang di dasar laut (fixed) atau terapung di dalam laut (floated).

 

Namun, tantangan integrasi PLTAL dan Pembangkit Listrik Tenaga Gelombang Laut (PLTGL) termasuk keterbatasan lokasi pemasangan, biaya investasi yang tinggi, serta pemeliharaan dan daya tahan yang memerlukan perhatian lebih dibandingkan pembangkit EBT lainnya